Kata Sambutan untuk Buku “Hurufontipografi”

Di Indonesia, hingga sekitar tahun 1960/70an, istilah tipografi belumlah begitu dikenal sebagaimana pengertiannya sekarang. Pada masa itu, tugas-tugas di kampus desain masih dikenal dengan nama lettering; mahasiswa harus membuat huruf dengan tangan (hand-drawn lettering), dimana ketrampilan menggunakan kuas dan cat poster (gouache) menjadi batu ujian utama dalam menentukan kualitas sebuah karya. Legibility dan readability menjadi sesuatu yang tidak mudah dicapai mengingat faktor optis yang bisa berubah ketika huruf-huruf masih ‘diset’ dengan pensil dengan ketika sudah diisi dengan warna (filled), apalagi kalau latar belakangnya berwarna pula. Bekerja dengan mengandalkan ketrampilan tangan masih menjadi satu-satunya pilihan teknis saat itu.

Memasuki tahun 1970an, artis-artis di kantor-kantor agensi periklanan di Indonesia sudah mulai menggunakan huruf gosok (instant lettering dry transfer) untuk menset headline iklan, yang paling populer saat itu adalah yang diproduksi oleh Letraset (Inggris), Mecanorma (Perancis) dan belakangan oleh Rugos (Indonesia). Sementara untuk naskah iklan (body copy) diset dengan mesin tik IBM. Baru pada periode berikutnya yaitu pada pertengahan 1970an mesin elektrik ini digantikan oleh mesin phototypesetting yang diproduksi oleh Compugraphic, yaitu mesin setting huruf yang menggunakan proses fotografis (output-nya berupa kertas bromide, kertas foto yang mengandung bahan kimia perak bromida).

Desain grafis termasuk tipografi kemudian mengalami perkembangannya yang paling revolusioner ketika komputer Macintosh mulai dikenal di Indonesia semenjak paruh kedua tahun 1980an. Proses pekerjaan yang sebelumnya dilakukan dengan sistem manual diambil alih sepenuhnya oleh komputer. Tangan digantikan oleh pixel, free hand oleh vector. Komputer menjanjikan kemudahan-kemudahan yang tak terbayangkan sebelumnya, dan menjelang pergantian milenium, semakin banyak saja desainer grafis yang menjadi semakin bergantung pada komputer.

Tetapi di Amerika, memasuki dekade pertama tahun 2000an, di tengah eforia penggunaan komputer, hand-drawn lettering justru populer kembali. Gejalanya sudah terlihat beberapa tahun sebelumnya ketika grunge typography menjadi begitu populer (termasuk juga di Indonesia) antara lain melalui David Carson (disebut-sebut sebagai “The Father of Grunge Design“) yang menggunakan tipografi sebagai medium untuk berekspresi. Steven Heller bahkan menyebut dasawarsa pertama tahun 2000 ini sebagai “The Decade of Dirty Design“, suatu dekade dimana generasi baru desainer grafis berpaling kembali ke penggunaan tangan (to get back to the hand): “Mastery of the computer’s options meant that by the end of the 20th century a new generation of designers were commanding much more than merely Illustrator, Quark and Photoshop programs—they had figured out how to wed technique to concept, and produce design that often had an exterior life other than the client’s message.“ Maka terbentanglah kini pilihan-pilihan teknis dalam berkarya, sepenuhnya memakai komputer (digital), atau menggunakan tangan saja (anti-digital) atau menggunakan kedua-duanya secara bersamaan.

Dan dibandingkan dengan masa di mana hand-drawn lettering masih merupakan satu-satunya pilihan, di depan mata kini tersedia ratusan ribu jenis fonts untuk dipilih dan dipakai, suatu ‘kemudahan’ yang sungguh bisa menyulitkan. Desainer masa kini pun dituntut untuk pandai-pandai menentukan pilihannya, yang ditengarai oleh Heller sebagai “a critically exciting time to be a graphic designer”.

Buku “Tipografi” buah karya Surianto Rustan ini diharapkan akan membantu desainer-desainer Indonesia masa kini untuk memilih dan menggunakan font dengan baik dan benar, serta sukses menghadirkan message yang diusungnya secara estetis. Surianto Rustan, dengan ketekunan dan kerja kerasnya, telah melahirkan sebuah buku yang komprehensif mengenai tipografi, sejak dari awal sejarahnya, mengenal anatomi huruf, mengidentifikasinya, hingga memilih dan kemudian mengeksplorasinya.

Dengan rasa syukur saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku “Tipografi”, semoga bermanfaat bagi perkembangan desain grafis Indonesia umumnya dan tipografi khususnya.

Hanny Kardinata
Founder DGI (Desain Grafis Indonesia)
http://www.DGI-Indonesia.com

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Artikel terkait: Buku Baru Karya Surianto Rustan: “Hurufontipografi”

•••

Wawancara dengan Majalah Desain Versus: “Garuda Pancasila dan Indonesian Creative Heroes”

Wawancara dengan majalah desain Versus

Sudilah kiranya Pak Hanny menyumbang pemikiran atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Tentang GARUDA PANCASILA:

a. Apa definisi Garuda Pancasila di dalam hati Anda?

Bagi generasi seusia saya mungkin sulit menghapus kesan ‘kesaktian’ Pancasila sebagaimana yang telah dicuciotakkan selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, tetapi itulah yang semestinya diupayakan, bahwa Pancasila adalah inspirasi, dan bukan sesuatu yang sakti, keramat dan doktrinal.

b. Sejujurnya, hapalkah Anda dengan lagunya?

Sejujurnya, tidak ada satu pun lirik lagu apa pun yang saya hafal lagi sepenuhnya saat ini.

Dan menghafal lirik sebuah lagu nasional tidak sama dengan menjadi nasionalis.

c. Apakah menurut Anda, Garuda Pancasila sudah bisa dianggap sebagai Logo Indonesia?

Kalau ya, mengapa? Kalau tidak, mengapa?

Sebagai logo, makna yang diusungnya sudah bagus: “burung garuda” memiliki arti kekuatan, menggambarkan Indonesia negara yang kuat. Masalahnya apakah makna ini masih mencerminkan kondisi bangsa dan negara kita saat ini?

d. Masih adakah yang ingin Anda ubah dari Garuda Pancasila? Mengapa? Dan seperti apa perubahan yang ingin Anda lakukan?

Visualnya boleh ‘diremajakan’, untuk meraih simpati (dan kemudian: empati) dari generasi muda, seperti yang banyak dilakukan terhadap logo perusahaan-perusahaan negara (BUMN) mau pun swasta.

e. Bagaimana tanggapan Anda saat Armani Exchange menggunakan Garuda Pancasila sbg motif t-shirt-nya, dan mengubah bbrp lambang menjadi huruf AIX ?

Dalam kaitannya dengan HKI, sebuah logo tidak bisa dipergunakan apalagi dimodifikasi oleh yang tidak berhak (bukan pemegang hak cipta atau hak mereknya), kecuali ada perjanjian lain dengan penciptanya.

f. Menurut Anda, bolehkah tampilan Garuda Pancasila di eksplor untuk kepentingan Seni ataupun Komersil? Mengapa?

Bila logo anda atau logo institusi anda dipergunakan oleh pihak lain, apalagi untuk kepentingan komersial, apakah anda rela?

g. Pernahkan Anda menemukan eksplorasi desain lain dari GARUDA PANCASILA? Dimana? Oleh siapa? Ceritakan apa yg ada dlm pikiran Anda saat melihat desain tsb.

  • Adityayoga (Indonesia Raya): “I love (Garuda Pancasila) RI”.
  • Iwan dan Indah Esjepe (Indonesia Berindak): burung garudanya tidak digambarkan statis, tapi terbang dengan perisai Pancasila menggantung di leher dan kaki menggenggam erat-erat banner Bhinneka Tunggal Ika. Keduanya mencitrakan: “proud to be Indonesian”.

2. Siapa sebenarnya yg bisa disebut sebagai orang Indonesia? Yang terlahir sebagai Melayu kah? Atau? Berikan pandangan Anda…

Kita bisa berdebat kusir mengenai hal ini, tapi apa manfaatnya? Manusia Indonesia adalah warga negara Indonesia, itu saja.

3. Siapa saja yang menurut Anda sudah bisa dijuluki sebagai INDONESIA CREATIVE HEROES? Sebutkan nama, profesi dan apa saja yg sudah dilakukan oleh orang-orang yang Anda nilai sbg hero tsb.

Terlepas dari kontroversi mengenai ideologinya: Pramoedya Ananta Toer, karena:

  • Keterlibatannya sebagai pejuang kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda.
  • Pembelaannya terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia dalam bukunya “Hoa Kiau di Indonesia”.
  • Pramoedya adalah satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali dinominasikan sebagai peraih penghargaan Nobel Sastra.
  • Reputasi internasionalnya sulit ditandingi oleh insan kreatif Indonesia lainnya. Dia telah menulis sekitar 200 buku dan karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa.
  • Ia pernah menolak sutradara Amerika, Oliver Stone yang ingin membeli hak memfilmkan “Bumi Manusia” sebesar US$ 1,5 juta (sekitar 15 miliar rupiah) hanya karena Pram menginginkan orang Indonesia yang menjadi produsernya.
  • Walau berkali-kali di penjara (dalam tiga periode: zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru) dan tidak dihargai di negerinya sendiri, Pram tetap mencintai Indonesia. Pada usia 81 tahun ia menderita sakit karena sedih mendengar berita berbagai bencana yang menimpa negerinya.
  • Dan ketika kesehatan membuatnya tak dapat menulis lagi, kegiatannya dialihkan pada mengumpulkan kliping hingga setinggi 4 meter untuk proyek Ensiklopedia Nusantara. Proyek itu rencananya akan mulai dikerjakan dengan uang yang akan diterimanya jika ia menerima penghargaan Nobel.

4. Bagaimana dengan Bhinneka Tunggal Ika?

Tiap sila di dalam Pancasila tidak bisa mutlak berdiri sendiri-sendiri, semestinya ditafsirkan secara kreatif dalam kaitannya dengan sila-sila lainnya.

Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu, merujuk ke sila ke-3: kesatuan bangsa, atau nasionalisme. Sila ini tidak bisa dijalankan tanpa mengindahkan nilai humanisme (sila ke-2). Jadi di atas nasionalisme, kita masih memiliki nilai-nilai perikemanusiaan. Ini menghindarkan kita dari menafsirkan nasionalisme secara sempit (misalnya, boleh melakukan kekerasan atas nama nasionalisme).

Dan di atas semua sila itu ada nilai spirituality (sila ke-1).

Jadi penafsiran sebuah sila harus memperhitungkan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya.

Jakarta, 29 Juni 2010

•••

Wawancara dengan Andrea Booth/The Jakarta Post

Mengenai IGDA (Indonesian Graphic Design Award) 2009:

1.How can the graphic design industry benefit from this event?

Secara nasional, IGDA diharapkan akan menjadi tolok-ukur (benchmark) bagi kualitas desain grafis Indonesia pada suatu periode, dan melalui penyelenggaraan yang baik serta teratur (sustained) kelak bisa mengangkat desain grafis Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan di dunia internasional. Pada umumnya ajang penghargaan desain di dunia internasional sekedar fokus melayani kebutuhan, output trend industri dan komoditi. IGDA, lebih dari sekedar ajang penghargaan dan kompetisi pada umumnya, sesungguhnya menjadi cermin para petani desain untuk berintrospeksi kembali membumi, memberi kehidupan kembali kepada desain lokal.

Sejalan dengan IGDA sedang dirancang sebuah Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang selain akan menjadi tempat menyimpan dan merawat artefak desain grafis sebagai kekayaan budaya Indonesia – termasuk karya-karya IGDA ini – diharapkan kelak juga akan berfungsi sebagai pusat studi dan pengembangan desain grafis Indonesia. Kedua organisasi ini, IGDA dan MDGI – bersama dengan asosiasi, forum, lembaga pendidikan dan industri terkait – diharapkan kelak akan bersinergi untuk bersama-sama mewujudkan desain grafis Indonesia yang lebih bermartabat, di negeri sendiri mau pun global.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2.How would you define the identity of Indonesian graphic design?

Desain grafis Indonesia tentunya bukanlah sekedar yang menampilkan motif-motif lokal sebagai elemen grafisnya, juga bukan desain yang berkarakter internasional, tetapi desain yang mencerminkan semangat untuk mengeksplorasi nilai-nilai lokal atau yang mengadaptasikan secara organik pengaruh luar dengan warisan lokal.

IGDA menyatakan keberpihakannya kepada semangat pencarian identitas desain grafis Indonesia ini melalui metafora-metafora yang dipergunakannya seperti ‘petani desain’, ‘panen grafis’ dan sebagainya, identitas yang lahir sebagai hasil dialog yang natural dan bukan sekedar cangkokan yang bersifat paksaan, jauh dari adaptasi transformasi organik. Terbukti, yang mampu bertahan dari serbuan pasar global adalah petani desain yang mampu menghidupkan kembali inti-inti kebudayaan lama sebagai basis desain lokal seperti halnya bangsa-bangsa Jepang, Cina, atau pun Thailand.

Keberpihakan IGDA ini, jika tidak ada aral melintang, akan dinyatakan melalui sebuah manifesto yang akan diumumkan pada malam penganugerahan IGDA pada tanggal 23 Mei 2010 di Galeri Salihara. Sebelumnya, AD Pirous -salah seorang yang memberi andil besar bagi dimulainya pendidikan tinggi desain grafis di Indonesia- akan menyampaikan pidato kebudayaannya berkaitan dengan kesadaran mewujudkan desain grafis Indonesia ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. Do people understand what graphic design is here?

Sekitar 30 atau 40 tahun yang lalu, masyarakat awam masih sulit memahami apa sebetulnya yang dikerjakan oleh desainer grafis itu. Lulusan SMA yang ditanya akan melanjutkan studinya kemana bisa dipastikan hampir tidak ada yang menjawab akan bersekolah di sekolah desain grafis (jumlah sekolahnya pun masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan). Tetapi keadaan sudah berubah, studi desain grafis menjadi salah satu prioritas, dan jumlah jurusan DKV di seluruh Indonesia kabarnya saat ini sudah mencapai sekitar 70 buah.

Kini permasalahannya mungkin sudah agak bergeser, bukan lagi bagaimana mensosialisasikan mengenai apa desain grafis itu tapi pada bagaimana karya desain grafis yang baik dan berkualitas (karena teknologi digital saat ini memungkinkan siapapun menyatakan dirinya sebagai desainer grafis, sementara sertifikasi yang mengatur standard profesi ini masih sedang dalam proses pemberdayaannya).

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

4. How do you think graphic design can be developed/advanced further?

Desainer grafis tidak cukup hanya bekerja merancang dan memperoleh nafkah daripadanya, perlu ada kesadaran untuk terus-menerus mengeksplorasi warisan budayanya demi kepentingan mewujudkan desain grafis yang Indonesia. Hanya dengan cara demikian desain grafis Indonesia akan berkembang dan diperhitungkan dalam percaturan desain grafis dunia.

Perkembangan desain grafis Indonesia sebaiknya juga tidak lepas dari perkembangan industri kreatif pada umumnya. Perlu ada persinggungan yang lebih intensif dengan disiplin desain lainnya (arsitektur, interior, produk) atau dengan seni rupa lainnya. Persinggungan dari berbagai disiplin ini berpotensi menghasilkan perubahan atau sesuatu yang baru.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

5. Can you explain why graphic design plays an important role in society?

Pastilah cukup sulit pada saat ini untuk membayangkan dimana desain grafis tidak berperan. Ketika kami mendirikan IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) pada tahun 1980, kami tak henti-hentinya berupaya menyadarkan publik mengenai peran desain grafis yang bisa dijumpai hampir di setiap hal di sekitar kita, sejak dari kartu nama atau uang kertas dan kartu kredit di saku kita, t-shirt yang kita kenakan hingga kepada poster, banner atau billboard yang kita jumpai di jalan-jalan yang kita lalui.

Tetapi desain grafis tidak hanya berkonteks komersial semata, desainer tidak hanya melayani industri, atau mengabdi pada pemilik kapital, ada hal-hal lain yang lebih bernilai daripada itu seperti perannya di bidang sosial, pendidikan dan kebudayaan. Atau demi kepentingan nasional, bahkan kepentingan dunia. Desain bisa melakukan perubahan, bukan sekedar meningkatkan penjualan atau mendorong perilaku konsumtif.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

6. What work can we expect to be showcased at the event? (designers and their backgrounds/influences/styles etc)

Karya-karya finalis IGDA yang ditampilkan dalam sebuah pameran sejak pagi hari pada tanggal 23 Mei itu memperlihatkan beragam pendekatan yang dilakukan oleh desainernya. Untuk ajang yang pertama ini terlalu cepat untuk mengharapkan teridentifikasinya sebuah gaya yang katakanlah, beridentitas Indonesia, tetapi gagasan inilah yang sesungguhnya melatarbelakangi diselenggarakannya IGDA. Tujuan ini mungkin baru akan tercapai setelah IGDA yang kesekian kali, tidak apa, setidaknya sejak ajang yang pertama ini, IGDA telah menunjukkan keberpihakannya kepada desain grafis yang Indonesia itu.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

7. Is there anything else you want to add?

Saya hanya ingin mengulang seruan kepada seluruh rekan-rekan seprofesi –praktisi dan akademisi di seluruh tanah air– agar melupakan perbedaan dan persaingan, melepaskan atribut organisasi atau institusinya masing-masing, untuk bekerjasama demi kepentingan yang lebih besar –antara lain melalui IGDA ini– demi kemajuan desain grafis Indonesia. Melupakan persaingan, karena menurut Rhenald Kasali, persaingan adalah akar dari konflik. Dan konflik hanya akan mendatangkan kerugian saja bagi bangsa ini!

•••