Wawancara dengan Ekonomi Kreatif Indonesia

• Lahir di mana. Anak ke berapa dari berapa bersaudara. Profesi orang tua. 

Di Surabaya. Anak kedua dari empat bersaudara.

Ayah saya, pada kisaran tahun 1960-an—sebelum berwiraswasta—dipercaya mengurus Bioskop Wijaya, jl. Bubutan, Surabaya. Di sela kesibukannya, beliau mengisi waktunya dengan berbagai kegemaran, mulai dari menggambar, fotografi, memancing, berburu barang di pasar loak dan kemudian merenovasinya, serta membuat ice cream. Karena karakternya yang perfeksionis, semuanya dikerjakannya dengan standar profesional.

• Awal ketertarikan pada dunia desain, terutama desain grafis. 

Sebetulnya saat masih duduk di SMA ada tiga bidang keilmuan yang ingin saya pelajari kelak: arsitektur, desain grafis (waktu itu namanya masih seni reklame), dan psikologi. Tapi ketika pada akhirnya saya hanya mendaftar di STSRI ASRI, dan langsung diterima, maka saya tidak mendaftar lagi di universitas-universitas lainnya.

Sejak kecil saya senang menggambar. Di SD, dan kemudian berlanjut di SMP, saya suka membuat serial cerita bergambar dalam bentuk buku kecil-kecil yang saya bawa ke sekolah dan menjadi bacaan teman-teman sekolah saya, di samping adik-adik saya di rumah. Ceritanya saya karang sendiri, kalau bukan kisah-kisah misteri pastilah berkisar pada karakter super hero ciptaan saya sendiri. Satu cerita jumlahnya bisa puluhan jilid. Mungkin pada akhir SMP, dan kemudian juga di SMA, saya mulai merancang komik-komik dalam ukuran besar, dengan skala 2:1, supaya detailnya menjadi lebih bagus ketika dicetak dalam format yang sebenarnya. Tentu saja komik-komik itu tidak pernah diterbitkan, karena tidak ada yang betul-betul selesai (tamat), karena lebih merupakan buah keisengan semata.

Di SMA pula saya menemukan metode menggambar di atas lembaran-lembaran plastik yang kemudian dibentuk menjadi sampul buku tulis. Sampul buku itu saya tawarkan pada teman-teman sekolah dan laku. Saat itu saya juga sudah menerima order pembuatan kartu undangan perayaan ulang tahun. Tiap kartu dirancang eksklusif, tidak ada yang sama, karena baik gambar mau pun naskahnya dikerjakan dengan tangan. Gambarnya bercorak abstrak-dekoratif. Dari kerja ”sampingan” itu, saya bisa memiliki jam tangan lumayan mahal, yang uangnya bukan dari orang tua saya. 🙂

Mungkin itu semua yang mendorong saya lebih memilih melanjutkan studi saya di bidang desain grafis.

Apakah ada pertentangan dengan keluarga/orang tua saat memilih untuk kuliah di bidang desain.

Tidak ada pertentangan sama sekali. Kedua orangtua saya mendukung pilihan saya.

• Suka duka atau pengalaman tak terlupakan saat awal terjun ke dunia desain grafis.

1. Karena pada masa itu (1970-an) spesialisasi belum lazim, desainer dituntut bisa mengerjakan apa saja: mulai dari membuat ilustrasi, merancang desain buku, memotret, sampai merancang logo. Kondisi masa kini sudah berbeda, desainer bisa lebih fokus pada bidang yang paling dikuasai dan menjadi minatnya.

2. Sebelumnya, juga karena masih menjadi bagian dari industri periklanan, desainer grafis tidak memiliki banyak pilihan selain bekerja (kebanyakan) di Biro-biro Iklan. Baru menjelang tahun 1980, Biro-biro Grafis mulai berdiri. Berbeda dengan Biro Iklan, perusahaan- perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain non-iklan, dan sepenuhnya dipimpin oleh

desainer grafis. Kebanyakan terpusat di Jakarta, satu dua di Bandung dan Jogja. Dewasa ini, Biro Grafis tak terhitung lagi jumlahnya, dan tersebar di berbagai kota.

3. Pada 1970-an profesi ini tidak dikenal oleh masyarakat. Maka ada kebutuhan pada kami— desainer-desainer angkatan ’70—untuk memperkenalkannya. Pada tahun 1980-an kami memulainya dengan berpameran. Kami ingin mengabarkan eksistensi kami melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda ’Erasmus Huis’ pada tanggal 16–24 Juni 1980, dengan mengusung misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis ke publik yang lebih luas. Kami tidak hanya memajang karya yang merupakan hasil akhir, tapi juga prosesnya, dari sketsa hingga menjadi proof separasi warna sebelum dicetak. Jadi ada faktor edukasinya. Pameran bertajuk ’Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit’ ini kelak tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (menurut Agus Dermawan T. dalam tulisan berjudul Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit–Mau Merubah Dunia, Kompas, Rabu, 25 Juni 1980, h. 6).

Referensi: http://dgi-indonesia.com/pameran-rancangan-grafis-hanny-gauri-didit/

Pameran itu juga menjadi ajang berkumpulnya desainer-desainer grafis masa itu yang sedang menggalang pertemuan-pertemuan intensif di jalan Padalarang 1-A, Jakarta—kantor majalah Visi (d/h Maskulin) dan Sport Otak—untuk mempersiapkan dibentuknya sebuah organisasi yang mewadahi desainer grafis Indonesia. Organisasi ini kemudian diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan penyelenggaraan sebuah pameran besar bertajuk Grafis’80 di Wisma Seni Mitra

Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta. Inilah upaya terbesar desainer grafis angkatan ‘70 untuk menyatakan eksistensinya, agar masyarakat apresiatif terhadap bidang ini. “Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita”, demikian tulis Leonardo pada artikel berjudul ’Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai Karung Semen’, di Majalah Gadis No. 29, 1980.

Dewasa ini, kita menjadi saksi betapa tingginya frekwensi berlangsungnya pameran-pameran desain grafis di berbagai kota di Indonesia, tidak hanya di Jakarta saja. Sebagai catatn, IPGI kelak berganti nama menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi) sebagaimana yang kita kenal sekarang.

• Prestasi/penghargaan yang paling berkesan sepanjang karir di desain grafis dan apa alasannya.

Yang cukup berkesan adalah poster ’Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?’. Karena awalnya saya tidak berniat mengikuti kompetisi (yang terbesar pada 1980-an) ini. Ceritanya, hampir semua desainer di biro grafis saya, Citra Indonesia mengikuti lomba tersebut. Salah seorang darinya, menunjukkan sketsa-sketsanya kepada saya agar mendapat masukan dari saya. Setelah memberikan beberapa komentar, untuk beberapa saat lamanya pikiran saya jadi terfokus untuk memikirkan solusi-solusi yang lebih baik. Akhirnya saya juga membuat beberapa sketsa (konsep), yang kemudian saya berikan kepadanya untuk dia eksekusi atas namanya. Tapi hingga beberapa hari menjelang waktu penutupan lomba, saya lihat dia masih asyik menyelesaikan karyanya sendiri. Sketsa tersebut saya minta kembali dan saya kerjakan sendiri di rumah. Agak terburu-buru karena deadline penerimaan karya tinggal dua atau tiga hari. Tapi kemudian ternyata karya itu menang!

Referensi: http://dgi-indonesia.com/lomba-poster-dan-stiker-up3dn-terbesar-dan-terheboh-1987/

Anugerah Samartharupa dari DKV Universitas Binus juga sama sekali tidak saya sangka.

Referensi: http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2008/09/18/samartharupa-jejak-terima-kasih-dkv-binus/

• Latar belakang mendirikan DGI. Apa alasannya, apa kesulitannya.

Bertolak dari keprihatinan atas belum hadirnya sejarah desain grafis Indonesia dalam

perpustakaan kita.

Pada awalnya merupakan keinginan berbagi kliping yang saya koleksi, agar DGI menjadi data base atau ruang pengarsipan. Saya menyadari bahwa kerja pengarsipan (archiving) ini tidak akan cukup bila dilakukan sendirian, karena itu DGI sejak awal saya hadirkan sebagai sebuah ruang kolaboratif: siapa saja bisa berbagi apa yang dimilikinya, demi supaya fungsi utama DGI (sebagai perekam jejak perjalanan desain grafis Indonesia) bisa terus berjalan.

DGI bertujuan membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat (dikutip dari tagline DGI: Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture, and society). Adalah sebuah cita-cita bagi DGI untuk mendirikan Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang akan mendukung pembelajaran ilmu desain grafis dengan menyimpan dan merawat karya-karya desain grafis Indonesia secara komprehensif. Konsep pemahaman diharapkan terwujud melalui penerbitan bagian per bagian sejarah, data, dan kajian desain grafis Indonesia.

Dari yang semula berlangsung secara online, kini DGI telah memiliki divisi penerbitan (DGI Press); aktivitas pengarsipan yang semula hanya di dunia maya kini diimbangi dengan upaya menghadirkan pengarsipan secara fisik (sejak 2013). Hingga saat ini, DGI telah menerbitkan dua buku: ’Perspektif: 19 Desainer Grafis Indonesia’ dan ’Antologi Desain Grafis Indonesia #1’. Kini juga semakin banyak penyelenggaraan aktivitas-aktivitas offline (lokakarya, talkshow, pameran, dll.). Juga sedang direncanakan untuk menyelenggarakan ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) ke-2 pada 2015. Gagasan mengenai IGDA ini tak terpisahkan dari MDGI, sebagai upaya pengumpulan karya-karya terbaik tiap masa secara nasional untuk disimpan di MDGI.

• Kesibukan Bapak Hanny saat ini. 

Saya sedang menyelesaikan penulisan buku saya. Buku ini merekam jejak perjalanan desain grafis Indonesia sebagai bagian integral dari sejarah desain grafis internasional, judulnya ’Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia’. Akan dibagi dalam beberapa jilid, dan mudah-mudahan jilid pertamanya bisa terbit pada tahun ini. Supaya pembacanya bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang terjadi di tanah air dan di luar negeri pada suatu periode, maka sesuai dengan judulnya, saya berupaya menempatkan kejadian-kejadian di Indonesia berdampingan dengan tonggak-tonggak sejarah (milestones) desain grafis dunia.

• Kegiatan apa yang dilakukan di waktu luang (hobi atau minat di bidang lain).

Membaca, menonton film, mendengarkan musik, menulis.

• Jika tidak menjadi desainer grafis, kira-kira profesi apa yang ditekuni saat ini.

Pengurus perpustakaan, barangkali? 🙂

• Perkembangan Desain Grafis di Indonesia sendiri seperti apa? 

Bila tinjauan bisa dimulai dari zaman dimana teknologi percetakan baru mulai hadir di Indonesia pada abad ke-17, maka bila pada masa itu (hingga pertengahan abad ke-20) bidang desain grafis masih menjadi bagian dari industri percetakan dan periklanan, pada masa kini sudah ada ratusan biro grafis yang berkarya secara mandiri dan sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Bila pada 1950-an hanya ada dua institusi pendidikan desain grafis di Indonesia: di Yogyakarta dan di Bandung, maka sekarang ada lebih dari 70-sekolah grafis tersebar di berbagai kota. Dewasa ini kita juga menjadi saksi dari tingginya frekwensi pameran desain grafis oleh desainer-desainer Indonesia di berbagai kota-kota besar di Indonesia, sesuatu yang sangat langka bahkan belum pernah terjadi pada era 1970-an. Bila pada 1970-an itu kita masih harus dengan susah payah menjelaskan apa pekerjaan seorang desainer grafis, pada masa kini bisa dikatakan sudah tidak ada kendala lagi bila seseorang hendak menyatakan bahwa profesinya adalah desainer grafis.

Kebutuhan untuk memiliki identitas sendiri dalam desain grafis juga bertumbuh terus sejak dicanangkan pada 1980 oleh Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI)—yang sekarang berganti nama menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi)—dan ditekankan kembali saat penyelenggaraan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) pada 2009 oleh DGI (Desain Grafis Indonesia), serta digiatkan oleh berbagai pihak lainnya. Kini beberapa lembaga pendidikan bahkan telah menekankan pentingnya menyertakan pendalaman terhadap local wisdom di dalam kurikulum pengajarannya. Mahasiswanya didorong untuk berani dan bangga mengangkat local content value dalam lanskap contemporary scene ke dalam karya desainnya sebagai sumber gagasan dan identitas dalam dialektika lanskap global.

• Bagaimana sosok Anda dalam merangkul para desainer Indonesia? 

Mudah-mudahan saya bisa selalu menjaga sikap netral (non-partisan), dengan berupaya mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada, dari profesional, akademisi, hingga industri. Melalui DGI, dengan memfasilitasi kegiatan-kegiatan daring (online), seperti: diskusi, peluncuran buku, pameran desainer profesional (online exhibition), polling, kampanye gerakan-gerakan sosial, publikasi thesis dan jurnal akademisi, serta menyelenggarakan kegiatan-kegiatan luring (offline), seperti: talk show, pameran, lokakarya (workshop) bagi desainer-desainer muda yang melibatkan kalangan industri, menyelenggarakan ajang penghargaan (award), dll. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya itu, DGI sering bermitra dengan asosiasi komunitas-komunitas lain seperti Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi) dan Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI ).

• Desain grafis yang baik itu seperti apa?

Komunikatif (message-nya tersampaikan), dieksekusi dengan standar yang baik dan melalui proses yang benar, serta solutif (menjawab permasalahannya). Inovatif merupakan nilai plus.

• Apakah desain grafis yang disukai masyarakat merupakan desain yang baik? Mengapa?

Masyarakat yang mana? Apa yang disebut masyarakat itu merupakan entitas yang heterogen. Apa yang disukai oleh orang Madura misalnya belum tentu disukai oleh orang Jawa, atau sebaliknya. Jadi apa yang disukai oleh masyarakat tidak bisa dijadikan tolok ukur atau acuan dalam menilai.

• Apakah mungkin hasil desain grafis orang awam bisa lebih baik dibanding profesional? Jika iya, apakah itu berarti tingkat pendidikan tidak mempengaruhi hasil desain grafis?

Yang dimaksud lebih baik itu yang bagaimana? Kalau hanya tinjauan dari segi visualnya saja mungkin bisa saja terjadi demikian, tapi itu pun pada kasus tertentu atau sangat khusus saja (pengecualian), secara umum tidak. Saya kira hal (pengecualian) sedemikian ini bisa terjadi pada bidang apa saja, bukan hanya pada desain grafis.

Orang awam bisa saja menggunakan ilustrasi atau fotografi sebagai elemen desainnya, keduanya bisa dipelajari secara otodidak, dengan hasil yang mungkin sebanding dengan hasil karya profesional (tipografi mungkin lebih rumit, literaturnya juga lebih sedikit), tapi desain kan bukan hanya masalah visual (estetika) saja. Ada kebutuhan pada pendalaman (eksplorasi) terhadap subjeknya (misalnya hotel. maskapai penerbangan, destinasi wisata, atau lainnya), juga pada apa yang menjadi objeknya (target market), yang kesemuanya itu perlu ditunjang oleh aktivitas riset. Desain grafis bukan melulu bagaimana memproduksi imej saja tapi ada proses analisis yang mendahuluinya, dan bagaimana menentukan metode presentasi solusi visual bagi masalah-masalah komunikasi.

• Apakah selera masyarakat mempengaruhi hasil dan nilai desain grafis di Indonesia? 

Sense of art atau taste tiap desainer itu (mestinya) berbeda. Ini menentukan karakter atau ciri khas rancangannya. Desainer yang berkarakter tidak akan terpengaruh oleh selera umum. Maka menjadi tugas klien untuk memilih desainer yang karakter desainnya sesuai bagi brand-nya, dengan demikian ia tidak perlu mendikte desainer agar mengikuti seleranya, atau (apa lagi) mengikuti selera umum. Dan sebaliknya, desainer yang berkarakter akan memilih-milih kliennya.

• Apa hak cipta desain grafis? Apakah mengacu pada batasannya, konsep karya, visual karya, gaya gambar, simbol, konsep simbol?

Dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) disebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan yang sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata (fixed) yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.

Konsep karya berkaitan dengan ide. Ide tidak dilindungi oleh UUHC. Agar ide dilindungi hak ciptanya, ia harus diwujudkan terlebih dulu dalam bentuk karya nyata.

• Kalau kita bikin punya ide, terus minta tolong visualkan idenya, siapa yg memiliki hak ciptanya? yg punya ide, atau yg bikin visual?

Ide yang tidak dieksekusi hanya akan tinggal sekadar angan-angan, demikian pula sebaliknya, tanpa ide tidak akan ada karya. Hak cipta melekat pada penciptanya. Dalam kasus ini, keduanya adalah penciptanya secara bersama-sama, Jadi tergantung bagaimana kesepakatan awal di antara mereka saja.

Tapi sepanjang keduanya bekerja pada biro grafis yang sama, maka hak milik dari rancangannya menjadi milik biro tersebut. Karena keduanya telah dibayar oleh perusahaan untuk merancang bagi biro tersebut.

Dalam hal pekerjaan itu merupakan order dari sebuah perusahaan, misalnya berupa perancangan identitas (logo, dsb.) maka hak miliknya berpindah ke perusahaan tersebut (yang adalah klien dari biro grafis dimana si desainer bekerja). Si desainer tetap adalah penciptanya, tapi hak milik terhadap logo itu tidak lagi ada pada penciptanya.

• Apa kelebihan dan kekurangan mendesain dengan komputer dan tidak?

Teknik manual menghadirkan ketidaksempurnaan (yang indah, menurut saya), sesuatu yang merupakan bawaan dari sisi kemanusiaan kita, yang membedakannya dengan buah hasil mesin. Komputer membantu mempercepat penyelesaian kerja desain dengan hasil yang ”terlalu sempurna”. Tapi ”kesempurnaan” seorang maestro dalam menggambar dengan cat air (misalnya) tetap tidak bisa disamai oleh komputer.

• Sejauh ini apakah ada undang-undang yang mengatur mengenai desain grafis?

Saya kurang tahu, tapi kalau yang dimaksud adalah UUHC, jawabannya: ada.

Menurut hukum, desain grafis adalah salah satu bentuk ciptaan yang bersifat visual, dan penciptanya atau desainernya mendapatkan perlindungan hukum.

Sumber: Prof. Dr. Agus Sardjono, Hak Cipta dalam Desain Grafis, FDGI, 2008, hal. 9

Bintaro, 15 Desember 2014

Hanny Kardinata: Sensasi Tiap Desainer Itu Berbeda

illust-guruhsoekarnoputra3

Sense of art tiap desainer itu berbeda, dan ini akan menentukan karakter atau ciri khas rancangannya,” ujarnya. Karena itu desainer yang berkarakter tidak akan terpengaruh oleh selera umum. Maka menjadi tugas klien untuk memilih desainer yang karakter desainnya sesuai bagi brandnya, sehingga desainer tidak didikte untuk mengikuti selera klien atau selera umum. Begitu juga sebaliknya, desainer yang berkarakter tidak akan sembarangan memilih kliennya.

Selengkapnya: Hanny Kardinata: Sensasi Tiap Desainer Itu Berbeda