Wawancara dengan Andrea Booth/The Jakarta Post

Mengenai IGDA (Indonesian Graphic Design Award) 2009:

1.How can the graphic design industry benefit from this event?

Secara nasional, IGDA diharapkan akan menjadi tolok-ukur (benchmark) bagi kualitas desain grafis Indonesia pada suatu periode, dan melalui penyelenggaraan yang baik serta teratur (sustained) kelak bisa mengangkat desain grafis Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan di dunia internasional. Pada umumnya ajang penghargaan desain di dunia internasional sekedar fokus melayani kebutuhan, output trend industri dan komoditi. IGDA, lebih dari sekedar ajang penghargaan dan kompetisi pada umumnya, sesungguhnya menjadi cermin para petani desain untuk berintrospeksi kembali membumi, memberi kehidupan kembali kepada desain lokal.

Sejalan dengan IGDA sedang dirancang sebuah Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang selain akan menjadi tempat menyimpan dan merawat artefak desain grafis sebagai kekayaan budaya Indonesia – termasuk karya-karya IGDA ini – diharapkan kelak juga akan berfungsi sebagai pusat studi dan pengembangan desain grafis Indonesia. Kedua organisasi ini, IGDA dan MDGI – bersama dengan asosiasi, forum, lembaga pendidikan dan industri terkait – diharapkan kelak akan bersinergi untuk bersama-sama mewujudkan desain grafis Indonesia yang lebih bermartabat, di negeri sendiri mau pun global.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

2.How would you define the identity of Indonesian graphic design?

Desain grafis Indonesia tentunya bukanlah sekedar yang menampilkan motif-motif lokal sebagai elemen grafisnya, juga bukan desain yang berkarakter internasional, tetapi desain yang mencerminkan semangat untuk mengeksplorasi nilai-nilai lokal atau yang mengadaptasikan secara organik pengaruh luar dengan warisan lokal.

IGDA menyatakan keberpihakannya kepada semangat pencarian identitas desain grafis Indonesia ini melalui metafora-metafora yang dipergunakannya seperti ‘petani desain’, ‘panen grafis’ dan sebagainya, identitas yang lahir sebagai hasil dialog yang natural dan bukan sekedar cangkokan yang bersifat paksaan, jauh dari adaptasi transformasi organik. Terbukti, yang mampu bertahan dari serbuan pasar global adalah petani desain yang mampu menghidupkan kembali inti-inti kebudayaan lama sebagai basis desain lokal seperti halnya bangsa-bangsa Jepang, Cina, atau pun Thailand.

Keberpihakan IGDA ini, jika tidak ada aral melintang, akan dinyatakan melalui sebuah manifesto yang akan diumumkan pada malam penganugerahan IGDA pada tanggal 23 Mei 2010 di Galeri Salihara. Sebelumnya, AD Pirous -salah seorang yang memberi andil besar bagi dimulainya pendidikan tinggi desain grafis di Indonesia- akan menyampaikan pidato kebudayaannya berkaitan dengan kesadaran mewujudkan desain grafis Indonesia ini.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3. Do people understand what graphic design is here?

Sekitar 30 atau 40 tahun yang lalu, masyarakat awam masih sulit memahami apa sebetulnya yang dikerjakan oleh desainer grafis itu. Lulusan SMA yang ditanya akan melanjutkan studinya kemana bisa dipastikan hampir tidak ada yang menjawab akan bersekolah di sekolah desain grafis (jumlah sekolahnya pun masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan). Tetapi keadaan sudah berubah, studi desain grafis menjadi salah satu prioritas, dan jumlah jurusan DKV di seluruh Indonesia kabarnya saat ini sudah mencapai sekitar 70 buah.

Kini permasalahannya mungkin sudah agak bergeser, bukan lagi bagaimana mensosialisasikan mengenai apa desain grafis itu tapi pada bagaimana karya desain grafis yang baik dan berkualitas (karena teknologi digital saat ini memungkinkan siapapun menyatakan dirinya sebagai desainer grafis, sementara sertifikasi yang mengatur standard profesi ini masih sedang dalam proses pemberdayaannya).

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

4. How do you think graphic design can be developed/advanced further?

Desainer grafis tidak cukup hanya bekerja merancang dan memperoleh nafkah daripadanya, perlu ada kesadaran untuk terus-menerus mengeksplorasi warisan budayanya demi kepentingan mewujudkan desain grafis yang Indonesia. Hanya dengan cara demikian desain grafis Indonesia akan berkembang dan diperhitungkan dalam percaturan desain grafis dunia.

Perkembangan desain grafis Indonesia sebaiknya juga tidak lepas dari perkembangan industri kreatif pada umumnya. Perlu ada persinggungan yang lebih intensif dengan disiplin desain lainnya (arsitektur, interior, produk) atau dengan seni rupa lainnya. Persinggungan dari berbagai disiplin ini berpotensi menghasilkan perubahan atau sesuatu yang baru.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

5. Can you explain why graphic design plays an important role in society?

Pastilah cukup sulit pada saat ini untuk membayangkan dimana desain grafis tidak berperan. Ketika kami mendirikan IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) pada tahun 1980, kami tak henti-hentinya berupaya menyadarkan publik mengenai peran desain grafis yang bisa dijumpai hampir di setiap hal di sekitar kita, sejak dari kartu nama atau uang kertas dan kartu kredit di saku kita, t-shirt yang kita kenakan hingga kepada poster, banner atau billboard yang kita jumpai di jalan-jalan yang kita lalui.

Tetapi desain grafis tidak hanya berkonteks komersial semata, desainer tidak hanya melayani industri, atau mengabdi pada pemilik kapital, ada hal-hal lain yang lebih bernilai daripada itu seperti perannya di bidang sosial, pendidikan dan kebudayaan. Atau demi kepentingan nasional, bahkan kepentingan dunia. Desain bisa melakukan perubahan, bukan sekedar meningkatkan penjualan atau mendorong perilaku konsumtif.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

6. What work can we expect to be showcased at the event? (designers and their backgrounds/influences/styles etc)

Karya-karya finalis IGDA yang ditampilkan dalam sebuah pameran sejak pagi hari pada tanggal 23 Mei itu memperlihatkan beragam pendekatan yang dilakukan oleh desainernya. Untuk ajang yang pertama ini terlalu cepat untuk mengharapkan teridentifikasinya sebuah gaya yang katakanlah, beridentitas Indonesia, tetapi gagasan inilah yang sesungguhnya melatarbelakangi diselenggarakannya IGDA. Tujuan ini mungkin baru akan tercapai setelah IGDA yang kesekian kali, tidak apa, setidaknya sejak ajang yang pertama ini, IGDA telah menunjukkan keberpihakannya kepada desain grafis yang Indonesia itu.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

7. Is there anything else you want to add?

Saya hanya ingin mengulang seruan kepada seluruh rekan-rekan seprofesi –praktisi dan akademisi di seluruh tanah air– agar melupakan perbedaan dan persaingan, melepaskan atribut organisasi atau institusinya masing-masing, untuk bekerjasama demi kepentingan yang lebih besar –antara lain melalui IGDA ini– demi kemajuan desain grafis Indonesia. Melupakan persaingan, karena menurut Rhenald Kasali, persaingan adalah akar dari konflik. Dan konflik hanya akan mendatangkan kerugian saja bagi bangsa ini!

•••