Q: Saya ingin bertanya ke pak Hanny saja. Menurut saya, kelompok akademisi dalam Adgi itu sifatnya kan edukasi, jadi apakah tidak sebaiknya dilindungi sehingga kader-kader Adgi berikutnya akan lahir dari kelompok tersebut yang akan menjaga establishment Adgi di masa depan, yang notabene saat ini belum mapan dalam hal keuangan. Saya melihat (mungkin) dengan iuran yang lebih terjangkau, kelompok ini akan membantu Adgi dari beberapa hal (saya melihat studi kasus AIGA dengan kampus-kampus desain di US):
1. ketika Adgi butuh venue untuk menyelenggarakan konferensi akan lebih mudah rasanya bila mendapat tempat di kampus, lebih murah dari segi budget, dibantu koordinasi oleh mahasiswa untuk menyelenggarakan event-nya, serta merupakan suatu promosi yang baik.
2. keuntungan bagi kampus: mahasiswa belajar, dosen belajar, kampusnya naik namanya (mungkin) dan keuntungan Adgi: mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan edukasi desain, penumbuhan kader2 baru serta mendapat bantuan koordinasi event.
Visi dan misi Adgi sudah jelas di bidang penjagaan profesi desain grafis bagi yang memiliki dan menjalankan usaha desain grafis. Namun, apakah visi dan misi ini sudah mencakup kebijakan atau regulasi kerja atas profesinya sendiri, misalnya problematika tentang kompensasi dan perlakuan adil terhadap karyawan desain? Saya melihat banyak contoh desainer grafis di ibukota yang digaji dengan kompensasi pas-pasan untuk hidup, padahal eksploitasi mereka di biro-biro desain tertentu melebihi kapasitasnya. Saya merasa visi dan misi Adgi belum menjangkau mereka.
Ini sifatnya hanya usulan pemikiran saya mengingat juga neo-Adgi ini baru established dalam beberapa tahun. Pemikiran saya muncul hanya atas azas pembelajaran saya dalam usaha memahami profesi desainer grafis di Indonesia ini.
Menurut pak Hanny bagaimana?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, awal 2007
A: Idealnya sebuah organisasi profesi itu memang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak termasuk akademisi, juga kepentingan para desainer yang bekerja di studio-studio desain, bukan owner-nya saja. Tetapi bagaimana kita bisa mengharapkan Adgi bisa menghindari benturan-benturan yang mungkin saja terjadi akibat kemungkinan kompleksnya keanggotaannya ini?
Di jaman IPGI dulu pernah tercetus wacana untuk membedakan organisasi desainer dengan organisasi perusahaan. Bahkan sebetulnya sudah sempat terbentuk semacam persatuan perusahaan-perusahaan desain grafis (diberi nama GRID) yang sayangnya belum sempat beraktivitas, sehingga kita tidak pernah memperoleh pembelajaran dari kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang mungkin terjadi di antara kedua jenis organisasi itu.
Sebetulnya desainer sekarang beruntung punya dua pilihan untuk berorganisasi, karena juga sudah ada FDGI (Forum Desainer Grafis Indonesia) yang kelihatannya keanggotaannya lebih didominasi oleh individu desainernya daripada owner studio-studio desain. Menarik mengamati manuver kedua organisasi ini dalam blantika industri desain grafis kita di masa depan.
•••
Q: Wacana organisasi profesi ini memang sangat menarik untuk dikaji, terutama ketika saya kemarin sempat ingin ikut keanggotaan Adgi untuk kategori akademisi, namun saya agak ragu, mungkin saya akan melihat keadaan terlebih dahulu. Sebelumnya saya minta maaf kalau saya hanya melihat dari sudut pandang mahasiswa, yang masih belajar.
Menurut saya, benturan-benturan dalam kompleksitas keanggotaan Adgi mungkin bisa diredam dengan kebijakan-kebijakan tertentu dari pihak Adgi. Namun dalam keadaan nyatanya memang hal ini sulit untuk terwujud.
Mengenai permasalahan menjadi dua organisasi menurut saya itu makin memperbesar jurang antara desainer-owner dengan desainer yang staf pekerja, jadi semakin memperuncing kekeruhan. Mungkin alangkah baiknya menjadi satu karena misinya kan sebenarnya satu yakni demi kemajuan profesi desain grafis di indonesia.
Mengenai sertifikasi, saya sebenarnya bingung, apabila ada sertifikasi terhadap profesi desain grafis oleh asosiasi seperti Adgi, masalahnya jadi aneh, lalu peran kampus dkv dalam memberi ijazah standarisasi jadi mubazir dong? Maksud saya jadi tidak jelas ketika seseorang lulus dari kampus masih harus diuji lagi kualitasnya oleh asosiasi. Kalau IDI kan jelas, untuk melindungi dan menjaga sumpah seorang dokter dalam mengemban kewajibannya di bidang kemanusiaan, walau sekarang nampaknya itu semua sudah semu, dokter sudah lebih memperhitungkan keuntungan material daripada tanggung jawab kemanusiaannya. Mungkin saya menangkap maksud pak Hanny seperti notaris/pengacara, mereka lulus dari suatu universitas/law school yang masih perlu ijin praktek dengan surat keabsahan praktek legal. Apakah begitu? (maaf kalau saya salah menafsirkan) atau saya salah? Pendapat saya sih, sepanjang untuk kemajuan desain grafis tapi sifatnya tidak merugikan pihak tertentu sih ok saja, namun prosedurnya agak belum terbayang.
Namun saya pada dasarnya lebih setuju kalau asosiasi seperti Adgi ini punya sifat mengayomi profesi desainer grafis, terutama dalam hal edukasi. Perihal masalah Haki yang sekarang tengah digembar-gemborkan buat saya masih menjadi prioritas kedua karena pada dasarnya suatu karya yang telah dibuat untuk dinikmati publik, rasanya tidak relevan bila masih mempeributkan masalah siapa yang menciptakannya (dalam konteks karya desain, kalau karya musik dan pembajakannya lain hal).
Dalam hal edukasi (menurut saya sih) kalau Adgi menerapkan member fee dalam jumlah sekian tentunya sudah sepatutnya ada pembelajaran bagi member-membernya, misalnya kan Agustus ini di event FGD expo akan hadir Stefan Sagmeister – desainer AIGA dari US, mungkin… hehehe… Adgi akan memberi ID pass untuk ikut acara tersebut tanpa biaya – untuk apresiasi/edukasi – atau kompensasi member fee yang memang diperuntukkan untuk kemajuan desain grafis Indonesia… hehehe…
Waduh pak Hanny, lama kelamaan saya bisa di-black list sama graphic-graphic house yang ada di Jakarta atas surat ini… hehehe… atau bahkan tidak boleh masuk Adgi… hehehe… yah… sebelumnya maaf kalau ada kalimat yang kurang sopan, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak tertentu.
Kalau boleh saya bertanya, pak Hanny kan mengalami masa IPGI, sebenarnya apa yang terjadi apakah sudah benar seperti diceritakan di majalah Concept edisi yang lalu?
A: Saya juga merasa tidak seharusnya ada dua organisasi yang berbeda kepentingan seperti itu, dulu pun tidak dimaksudkan demikian. Apalagi semua anggota GRID ketika itu adalah anggota IPGI (yang sudah memiliki studio-studio desain sendiri).
Masalah sertifikasi ini kebetulan saja saya pernah dimintai pendapat oleh salah seorang pengurus Adgi. Ketika itu saya jawab bahwa ini masalah yang sangat kompleks, terutama di negara kita yang kualitas desainernya sangat beragam mulai dari yang otodidak, ikut kursus sana-sini sampai yang jebolan sekolah luar. ditambah lagi oleh perkembangan teknologi yang menghasilkan disiplin yang begitu beragam mulai dari yang printed, web hingga ke motion graphics. Tapi kabarnya Ontario-Canada sudah berhasil membuatnya.
Masalah Haki juga tidak terlalu menarik perhatian saya. Ketika salah seorang klien saya mencak-mencak karena desain-desain yang saya ciptakan bagi mereka diikuti (dijiplak) terus-menerus oleh kompetitornya, saya kok malah merasa bangga.
Tulisan saya mengenai IPGI itu saya maksudkan sebagai tulisan awal yang masih bisa dan harus disempurnakan. Karena itu selama proses penulisannya selalu saya forward ke pak Pri dan pak Gauri untuk dikoreksi. Saya menyadari bahwa saya sudah cukup berumur, mungkin saja ada ingatan yang salah, tetapi sejauh ini saya belum menerima koreksi apa pun dari teman-teman lainnya. Mengapa anda menanyakannya? Ada bagian yang ingin dikutip?
Sebetulnya ada kesalahan koreksi yang dilakukan oleh Concept pada paragraf terakhirnya yang diakibatkan program yang dipakai tidak bisa membedakan antara Adgi lama dan Adgi baru. Tetapi itu sudah diralat pada Concept edisi berikutnya: seluruh paragraf itu dimuat ulang! Tolong anda melihat ralatnya pada edisi 14.
•••