Wawancara dengan Irwan Ahmett

Hanny Kardinata

INTERVIEW BERSAMA HANNY KARDINATA

Irwan Ahmett (IA): Kesibukan terakhir?

Hanny Kardinata (HK): Mengelola Situs Desain Grafis Indonesia (DGI).

IA: Visi mengenai Situs DGI?

HK: Situs DGI ini perwujudan sementara dari obsesi pada sejarah desain grafis Indonesia karena sejauh ini kita belum mempunyai sejarah yang tertulis mengenai kita sendiri. Cikal bakalnya adalah milis tertutup SDGI (Sejarah Desain Grafis Indonesia) yang pada awalnya beranggotakan beberapa orang pemerhati sejarah seperti Priyanto Sunarto, Henricus Kusbiantoro, Lucia Dambies, saya sendiri dll. Milis SDGI saya luncurkan sekitar Oktober 2003 dan situs DGI diawali pada Maret 2007.

IA: Target yang ingin dicapai?

HK: Sebuah buku sejarah yang lengkap, dan sebuah museum desain grafis Indonesia.

IA: Bagaimana reaksi dari teman-teman terhadap situs tersebut?

HK: Secara moral saya memperoleh dukungan dari banyak teman-teman desainer, saya juga memperoleh bantuan nyata dari beberapa teman yang rajin menyumbangkan tulisan-tulisannya yang inspiratif, tapi saya membutuhkan lebih banyak lagi tindakan nyata dengan misalnya setiap desainer mengirimkan profil dan karya-karyanya (dari sejak awal karirnya hingga sekarang) supaya kelak kita bisa memiliki sebuah galeri yang secara jelas memperlihatkan trend yang terjadi di negara kita setiap tahunnya. Situs DGI ini bukan milik perorangan tapi milik kita semua, rumah kita bersama dimana saya juru kuncinya… 🙂 Jadi setiap desainer grafis Indonesia diharapkan kontribusinya, supaya upaya merangkai kembali sejarah kita ini cepat selesai.

IA: Makna desain grafis bagi seorang Hanny Kardinata?

HK: Bagian dari tugas pelayanan saya di dunia ini.

IA: Proyek desain yang masih dimimpikan?

HK: Berkolaborasi terus dengan desainer-desainer muda. Ini sudah saya awali bersama Ika Putranto pada pameran poster ‘One Globe One Flag’ pada FGDexpo Agustus yang lalu. Disini yang menarik adalah prosesnya, bukan terutama hasilnya, yaitu bagaimana mensinkronkan perbedaan visi dari dua desainer yang berbeda generasi. Saya dari angkatan 70′an, sedangkan Ika baru saja menyelesaikan S1-nya di UPH (Universitas Pelita Harapan).

IA: Pekerjaan terbesar dan menantang dari seorang desainer?

HK: Jawaban akan berbeda bagi tiap desainer dan di kurun waktu dimana dia berkarya. Bagi saya saat ini, adalah merangkai kembali mata rantai sejarah desain kita yang selama ini terpisah-pisah, atau menyatukan jejak-jejak sejarah dgi yang berserakan dimana-mana. Ini menjadi commitment seumur hidup.

IA: Dalam ‘chaos’ situation ini, peranan dan tanggung jawab apa yang diemban dari seorang desainer grafis?

HK: Desainer grafis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika sosial yang terjadi di sekelilingnya, sebagai bagiannya desainer grafis tidak bisa berdiam diri saja menyaksikan misalnya planet bumi yang merupakan rumah besar kita bersama ini sedang menuju kehancuran akibat pemanasan global. Setiap desainer, dengan caranya masing-masing, seyogyanya berperan serta dalam upaya mengurangi efek rumah kaca ini.

IA: Bagaimana mencari karakter desain agar tidak berhenti di satu titik?

HK: Saya tidak begitu peduli dengan usaha pencarian karakter yang saya anggap akan muncul dengan sendirinya dalam perjalanan panjang kita sebagai desainer grafis (yang berkarya secara intens), artinya masalah karakter ini bagi saya merupakan prioritas yang kesekian. Dalam berkarya yang saya utamakan adalah upaya menciptakan karya desain yang terbaik, harus selalu lebih baik dari yang kemarin, seperti kalau mendaki gunung, untuk mencapai puncak tertinggi seseorang mesti melangkah lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

IA: Adakah mekanisme kerja kreatif ideal bagi desainer agar tidak mematikan dirinya sendiri?

HK: Dalam berkarya jangan terpaku hanya pada tujuan jangka pendek penciptaannya: fungsi desain sebagai alat promosi; tapi juga fungsi jangka panjangnya, bagaimana sebuah desain, setelah fungsi promosinya berakhir, tetap menarik sebagai sebuah karya seni, sebagai ‘a piece of art’. Terjadinya metamorfosa ini adalah konsekwensi logis dari hasil pemikiran yang sudah sejak awal diupayakan.

IA: Apakah sustainable design itu?

HK: Mirip seperti jawaban di atas adalah sebuah desain yang memiliki durability. Contohnya banyak sekali, misalnya poster-poster AM Cassandre, atau Milton Glaser.

IA: Apakah investasi terbaik seorang desainer yang harus disiapkan untuk hari tuanya?

HK: Menjadi pendidik dkv – formal mau pun informal – adalah ‘investasi’ terbaik. Mengapa? Karena di hari tua nanti anda bisa selalu tersenyum bahagia menyaksikan si A atau si B yang notabene dulu adalah murid-murid anda, kini telah berada di puncak-puncak pendakiannya.

Sumber: DWD # 1: A Sustainable Design (Prolog)

•••

Graphic Design Meets Architecture: QnA 1

Q: Salam. Perkenalkan nama saya F, mahasiswa jurusan arsitektur semester 8 yang saat ini sedang menyusun persiapan tugas akhir. Saya mendapatkan alamat email bapak dari balasan email yang saya kirim di http://www.museum-indonesia.net. Ada beberapa keinginan saya untuk memperoleh beberapa informasi yang berasal dari orang yang berkompeten dalam hai ini seperti bapak. Yang saya ingin ketahui yaitu tentang museum di Indonesia. Pertanyaan saya sebagai berikut:
1. Menurut data saat ini apakah museum di Indonesia sudah bisa dikatakan layak dan mencukupi serta telah sesuai standart internasional?
2. Untuk membangun sebuah museum syarat apa saja yang perlu diperhatikan?
3. Ada tidak museum yang mengkususkan koleksinya terhadap objek tertentu? Sebab dalam perancangan tugas akhir saya, saya mengambil judul Museum Desain Komunikasi Visual.
4. Bila bapak mempunyai saran terhadap tugas akhir saya ini, saya mohon masukannya.

A: Terima kasih atas email-nya, sedapat mungkin saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan anda. Saya mencoba menjawabnya dari urutan terakhir dulu.

3. Setahu saya cukup banyak yang memfokuskan koleksinya pada obyek tertentu, misalnya saya dengar ada Museum Topeng di Bali, lalu dalam waktu dekat ini akan dibuka (soft-opening) Museum Kartun Indonesia, juga di Bali. Kalau di luar negeri sudah banyak Museum Poster (poster adalah bagian dari desain komunikasi visual).

Oleh Direktorat Museum anda diarahkan ke saya, saya kira karena judul tugas akhir anda adalah Museum Desain Komunikasi Visual yang serupa dengan ide yang sedang saya dkk rencanakan yaitu Museum Desain Grafis Indonesia. Bagaimana bentuk tugas akhir anda itu nantinya, berbentuk tulisan, atau miniatur museum secara fisik?

Museum DGI secara fisik saat ini memang masih sebatas wacana, tapi sekitar setahun yang lalu saya sudah memulainya dengan membuat sebuah museum maya. Anda bisa melihatnya di DGI. DGI merupakan upaya untuk menyusun story-line Sejarah Desain Grafis Indonesia yang merupakan esensi dari Museum DGI.

2. DGI masih bersifat maya dan sedang dalam proses menjadi museum secara fisik. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan untuk membangun museum yang terutama adalah adanya koleksi benda yang relevan, adanya badan/organisasi pendiri, susunan pengurus (yang terdiri dari orang-orang yang mencintai museum), modal penyertaan yang menjamin keberadaan museum (supaya museum setelah berdiri bisa dikelola dengan baik) dsb. Satu hal lagi, pendiri dan pengelola harus melaporkan pendirian museum ke pemda setempat serta kepada direktorat museum. Manfaat dari upaya melaporkan dan mendaftarkan diri pada direktorat museum diantaranya adalah, nama museum akan dicantumkan dalam situs web milik direktorat sehingga akan meningkatkan jangkauan promosi, dan bila ada pelatihan/pembinaan oleh direktorat, maka museum yang terdaftar akan diikutsertakan.

Sebelum mendirikan museum dibutuhkan studi kelayakan secara seksama, baik dari segi administratif maupun dari segi isi atau content yang terkait dengan pemaknaan nilai sejarah yang hendak dijadikan tema utama dari museum. Studi mendalam sebelum pendirian museum penting dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Misalnya sebelum mendirikan Museum Desain Grafis Indonesia (DGI) penting untuk mengundang berbagai pihak dari berbagai lapisan yang terkait dengan profesi dan bidang ilmu desain grafis.

1. Sepengetahuan saya museum di Indonesia belum sesuai dengan standar internasional, tapi saya bukan orang yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini karena belum melakukan riset apa pun terhadap museum-museum yang ada di Indonesia.

Akhir kata, cobalah melakukan riset terhadap content Museum Desain Komunikasi Visual melalui situs DGI, barangkali akan banyak manfaat yang diperoleh. Sesudahnya kirim feedback ya…

•••

Q: Beberapa waktu yang lalu saya telah sempat menelusuri content yang bapak maksud dari situs DGI. Dan saya mendapat banyak masukan dalam penyusunan tugas akhir saya.

Dalam tugas akhir di jurusan saya, out-put yang diinginkan merupakan sebuah bentuk desain yang selesai. Sehingga saya membutuhkan cukup banyak referensi mengenai prinsip dan standart yang dibutuhkan dalam perancangannya. Sejauh ini saya telah mendapatkan beberapa contoh objek yang representatif. Namun untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai museum yang spesifik pada desain grafis ataupun sejenisnya masih kesulitan.

Beberapa informasi penting yang masih harus saya kumpulkan adalah :
1. Standart ruang yang dibutuhkan dalam museum desain ini. ruang-ruang apa saja yang wajib dimasukkan didalamnya.
2. Apa saja yang perlu dikategorikan sebagai objek museum ini. Sebab saya juga telah berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya dan menyarankan untuk memberi batasan yang jelas. Sementara yang saya ketahui bahwa objek museum harus bernilai sejarah.

Sementara ini dulu yang saya tanyakan. berikutnya saya mungkin akan mengirimkan file yang telah saya susun dalam bentuk makalah.

A: Bertolak dari situs DGI, saat ini saya sedang mencoba membuat museum maya: Museum DGI. Saya hanya memindahkan saja materi yang sudah terkumpul di situs DGI ke situs yang baru ini, tapi dengan susunan story-line yang jelas. Situs ini sedang dalam tahap pengisian, jadi belum saya sebarluaskan.

Anda bisa mencoba melihat situs baru ini di: The Indonesia Museum of Graphic Design

Anda orang pertama yang melihat situs ini 🙂 karena pertanyaan-pertanyaan anda kebetulan sesuai dengan apa yang sedang saya persiapkan. Pada situs ini anda bisa melihat kategorisasi sebuah museum berdasarkan timeline, dimulai dari tahun 1600an sampai ke 1900an yang kemudian semakin dekat ke masa kini saya bagi per satu dasawarsa (1900-1909, 1910-1919 dst.). Kemudian di tiap dasawarsa saya buatkan kategori-kategori besar untuk menampung jenis-jenis desain grafis yang ada (Brand and Identity Systems Design, Corporate Communication Design dst.). Ini bisa jadi salah satu pengkategorian, yaitu berdasarkan waktu.

Selain itu, saya kira sebuah museum desain grafis bisa disusun berdasarkan kategori jenis desain grafisnya. Misalnya, ada ruang untuk branding dan sistem identity, ada untuk ilustrasi dsb. dimana di dalam masing-masing ruang diperlihatkan perjalanan sebuah jenis desain grafis dari masa ke masa. Saya kira, untuk sebuah museum fisik (bukan maya) pendekatan kedua ini akan lebih menarik.

Sebagai konsekwensi dari pendekatan kedua ini tiap ruang harus diperhitungkan untuk siap menampilkan setiap produk secara maksimal. Ruang untuk kategori Information Design (yang memuat antara lain poster-poster) jelas berbeda dengan ruang untuk Package Design (yang bentuknya 3-dimensi dan harus dilihat dari jarak dekat). Mengenai pengkategorian, anda bisa mengambil baik yang ada pada situs DGI atau pun pada Museum DGI. Pada situs DGI, pengkategoriannya lebih detail, poster misalnya punya ruang sendiri, sedang pada Museum DGI pengkategoriannya lebih luas (poster akan masuk pada kategori Information Design yang juga mencakup jenis-jenis lainnya). untuk mempelajari pengkategorian seperti di Museum DGI silahkan melihat situs-nya AIGA. Saya mencoba menerapkan sistem AIGA ini pada Museum DGI, saya katakan mencoba, karena saya belum tau efektif tidaknya kalau belum mencoba. Kalau ternyata sistem ini tidak efektif, saya bisa merevisinya. Ini enaknya bikin museum maya, yang tentu tidak sama dengan museum fisik 😉

•••

Q: Maaf nih pak, sebenarnya profesi keseharian bapak berkecimpung di dunia DKV yah, sebagai apa ?…. sebab pertanyaan kali ini hubungannya dengan DKV.

Pak Hanny, sehubungan dengan perancangan Museum DKV yang saya buat dibutuhkan tema perancangan. Yang sifatnya ada hubungan dengan objek yang dibuat (saran dosen). Saya mengambil tema ‘mengemas’ – memberikan kemasan sebuah produk. Maaf yah Pak…:) mungkin penjelasan berikut agak arsitektural banget…

Landasan pemikiran saya berasal dari obyek yang saya buat yaitu MUSEUM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL. Saya meng-asosiasi-kan MUSEUM dengan PRODUK DKV. Sebab dua hal ini mempunyai keterkaitan yang kuat yakni ada sebuah proses kreatif untuk menghasilkan outputnya. Sehingga nantinya diharapkan desain museum saya adalah sebuah karya DKV baik itu ruang dan bentuknya tapi tidak secara vulgar serta-merta menempel karya.

Nah, yang menjadi pertanyaan saya adalah dalam mendesain sebuah kemasan apa saja yang menjadi faktor-faktornya? Bagaimana prosesnya. Saya mengutip dari situs DGI bahwa sebuah kemasan itu mempunyai sebuah pesan yang ingin disampaikan pada konsumen dan disimbolkan melalui layout, ilustrasi, teks dan typografi serta warna. Ada penjelasan khusus tidak mengenai hal ini? (mudah-mudahan saya tidak keliru menghubungkan kemasan dengan produk DKV).

Tema ini yang kemudian diaplikasikan kedalam teknik rancangan arsitektural. Mengapa harus membutuhkan pemahaman yang dalam, sebab dalam mendesain arsitektur sendiri terdapat prinsip perancangan yang lebih kompleks. Prinsip perancangan ini yang akan saya persilangkan dengan pemahaman saya terhadap tema mengemas untuk memperoleh output prinsip-prinsip mendesain sebuah Museum DKV versi individual saya. Agak ruwet tapi inilah proses yang dilalui sebelum sampai pada pengolahan bentuk dan ruang.

Maaf Pak Hanny saya bikin repot, soalnya preview saya tinggal beberapa hari lagi. Terima kasih pak atas tanggapannya…

A: Kalau yang dimaksud dengan berkecimpung di dunia DKV adalah aktivitas mengajar, saya bukan seorang akademisi, tapi kalau yang dimaksud adalah sebagai praktisi ya saya memang praktisi.

Kemasan/packaging adalah salah satu produk DKV, dan menganalogikan ‘Museum’ dengan ‘Produk DKV’ saya kira sah-sah saja, karena salah satu karakter museum adalah konservasi yang berarti perlindungan/penyimpanan. Bukankah salah satu fungsi kemasan juga melindungi, melindungi produk yang ada di dalamnya? Selain itu fungsi kemasan juga menambah nilai estetika produknya yang berakibat akan menambah nilai jualnya. Museum Desain Komunikasi Visual yang sedang anda kerjakan kan juga digarap dengan mempertimbangkan faktor estetika, jadi memang asosiatif dengan kemasan. Lalu, semua produk DKV, termasuk kemasan, memang memiliki pesan yang ingin disampaikan, itulah sebabnya disebut sebagai komunikasi visual, pesan yang disampaikan secara visual. Jadi semua elemen yang terkandung di dalam sebuah kemasan – layout, ilustrasi, photography, typography, warna dsb. – mencerminkan suatu pesan yang ingin dikomunikasikan: fresh, strong, mewah, fashionable dsb.

•••

Q: Terima kasih atas jawabannya. Tapi saya masih mau nanya lagi…. : )

Beberapa waktu lalu saya telah berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya mengenai tema tersebut yang berhubungan dengan kemasan. Tapi beliau kurang setuju dengan ide saya ini sebab beliau berpendapat bahwa kemasan bukanlah merupakan sebuah produk DKV. Beliau menganggap kemasan cuma sebagai sarana bagi desainer untuk mengkomunikasikan pesan melalui bentuk kemasan yang telah ada, sehingga beliau berpendapat esensi dari DKV itu sendiri adalah menyampaikan pesan itu sendiri. Dengan kata lain DKV sebatas mendesain perwajahan.

Kalau menurut bapak sebagai praktisi, mengganggap esensi dari DKV itu apa? Bukankah mendesain bentuk kemasan adalah hal penting yang juga menjadi kesatuan dalam mendesain? Saya yakin argumen bapak menjadi landasan berpikir saya untuk tetap bertahan pada tema ini, secara bapak adalah orang yang paling cocok untuk hal ini. Terus terang saya masih ingin memperjuangkan tema kemasan saya, sebab dipikiran saya sudah terbayang konsep secara keseluruhan. Bila mengganti tema akan cukup merepotkan.

A: Setiap kepala mungkin akan memiliki jawaban berbeda. Tapi fungsi utama DKV saya kira adalah to inform, mengkomunikasikan suatu pesan kepada khalayak tertentu dengan menggunakan elemen-elemen seni rupa. Dalam implementasinya bisa berbentuk kemasan. Jadi kemasan adalah salah satu produk DKV sebagaimana halnya dengan poster, brosur, logo dsb.

Kalau dosen pembimbing anda kurang setuju, mungkin karena dia tidak ingin anda menganalogikan DKV dengan kemasan. Kalau memang demikian, memang benar juga bahwa DKV tidak sama dengan kemasan, karena sebagai yang saya ungkapkan di atas kemasan adalah produk DKV, salah satu hasil akhirnya. Mungkin dia keberatan museum dianalogikan dengan salah satu hasil akhir DKV. Dari sisi ini dia ada benarnya. Rupanya dia mengharapkan anda menampilkan esensi DKV pada sebuah museum DKV.

Tapi cara berpikir anda yang mengasosiasikan museum dengan kemasan juga ada benarnya karena keduanya memiliki karakter yang serupa, sama-sama berfungsi melindungi/konservasi, sama-sama harus memiliki nilai estetika dsb.

Hanya saja karena dosen pembimbing anda menuntut asosiasi yang lebih tinggi yaitu dengan esensi DKV, mungkin anda dalam hal ini mesti ‘mengalah’, karena derajat esensi pasti lebih tinggi daripada implementasi. Sayang sekali, padahal bagus ya mengasosiasikan museum dengan kemasan… 😦

•••

Q: Dalam hal ini saya tampaknya tetap harus mengambil sebuah keputusan. Kalau mempertimbangkan dari berbagai masukan yang ada termasuk dari bapak, ya… ada baiknya tema yang saya ambil adalah sebuah esensi itu sendiri. Tapi untuk realisasi dalam konsep, saya rasa kemungkinan untuk memasukkan ide-ide saya sebelumnya masih tetap ada. Kalau dipikir-pikir justru ide saya lebih mempunyai makna yang lebih dalam dan bisa mengeksplorasi konsep yang lebih brilian… ha2x… ha2x… mudah2an bisa dapat A.

Oh iya pak, saya mau nanya, bapak sudah berapa lama berkiprah di jagad DKV ?

Pak! Makasih yach komentarnya… tampaknya sekarang jadi lebih semangat.

A: Syukurlah anda sudah bisa mengambil keputusan… 🙂 disini anda mengalah bukan karena dosen lebih tinggi daripada mahasiswa, tapi karena esensi lebih tinggi daripada implementasi. Saya juga yakin konsep kemasan anda masih bisa disisipkan di sana-sini.

Di DKV saya tergolong old soldier, saya dari angkatan ’70an.

Good luck…

•••