Graphic Design: QnA 1

Q: Saat ini saya sangat tertarik pada karya pak Hanny, ilustrasi poster Guruh Soekarnoputra. Pada karya tersebut saya melihat sebuah desain yang kaya akan nilai seni ditinjau dari segi gaya gambar yang bisa dibilang artistik dengan cat minyak pada kanvas (mungkin, menurut saya, maaf kalau salah) dipadukan dengan sarung batik yang dipergunakan oleh beliau yang mencerminkan gaya kubisme (walau tidak terlihat seperti kubisme namun kalau diperhatikan secara sekilas seperti kubisme, maaf juga kalau salah). Apabila diperbolehkan, saya ingin mengetahui filosofi apa yang bapak ‘attach’ di poster tersebut atau mungkin ada ide yang memang sengaja dituangkan pada poster tersebut?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, akhir 2006

A: Guruh adalah figur yang sangat Indonesia, jadi ketika beliau meminta saya menggambarnya untuk kebutuhan poster, brosur dan sampul kaset pertunjukan perdana Swara Mahardhika, saya hanya berpikir bagaimana saya bisa menampilkan beliau se-Indonesia mungkin. Karena itulah ada elemen2 batik, gunung, pedesaan, pohon pisang dan juga unsur warna merah-putih di dalam ilustrasi tersebut, yang membuat orang langsung mengenali bahwa inilah Indonesia. Style yang saya pergunakan adalah art deco (bukan kubisme).

Kenapa art deco? Pertama, karena saya mengenal musik Guruh yang dipengaruhi musik tahun 1920/30an (masa di mana art deco berjaya di Eropa, dan kemudian juga di Indonesia karena ‘dibawa’ oleh Belanda) dan kedua, karena Guruh sendiri ingin ditampilkan dengan style tersebut. Jadi klop.

Selanjutnya seluruh elemen desain (warna, bentuk, tekstur, garis dll.) saya arahkan untuk ‘mengekspresikan musik’, supaya secara keseluruhan ilustrasi itu menampilkan kesan ‘musical’. Perhatikan terutama elemen garis-garisnya, pada daun pisang, pada motif batik yang saya pilih, juga rumah-rumah di latar belakang. Saya tidak berhenti hanya sampai pada bentuk visual yang kasat mata tapi di sini bentuk telah berubah menjadi irama, sesuatu yang tidak kasat mata tapi barangkali bisa dirasakan.

Gambar Guruh itu saya buat dalam ukuran besar (saya menggambarnya di lantai) menggunakan poster color dengan teknik gambar dry-brush.

Guruh Soekarnoputra, ilustrasi untuk materi cetak pertunjukan perdana Swara Mahardhika

•••

Q: Dengar-dengar pak Hanny memang suka teknik manual ya (maksudnya non-computing)?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, akhir 2006

A: Barangkali kebetulan saja saya tumbuh di era yang manual itu. Tapi memang ada elemen2 desain yang saya rasa tidak bisa ditampilkan maksimal melalui komputer. Misalnya, tekstur. Kembali ke ilustrasi Guruh itu, saya sengaja memilih kertas bertekstur supaya terlihat melalui teknik goresan kuas saya. Mungkin anda tidak melihatnya karena yang bisa kita lihat sekarang ini hanyalah fotonya, tapi kalau berkesempatan melihat gambar aslinya maka tekstur kertas itu akan kelihatan jelas dan memberi ‘nyawa’ kepada keseluruhan ilustrasi tersebut. Pada ilustrasi yang menggunakan komputer, kita akan melihat hasil yang streril atau tidak memiliki ‘roh’. Barangkali ini salah satu kekurangan komputer, tentu saja di samping banyak kelebihan-kelebihannya yang lain.

•••

Q: Sekarang ini kan lagi trend anak-anak desain bikin karya pakai motif kriwil-kriwil, katanya supaya lebih etnik, tanggapan bapak bagaimana? Dan seharusnya bagaimana?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, akhir 2006

A: Mengenai penggunaan motif kriwil-kriwil itu sebenarnya terpulang kembali kepada makna atau fungsinya, apakah elemen tersebut memiliki makna yang substansial, atau berfungsi di dalam konsep desainnya? Kalau tidak, mengapa kita mesti menggunakannya?

•••

Q: Setelah lulus sekolah saya mulai berkarir sebagai desainer grafis di sebuah studio desain ternama. Setelah beberapa bulan bekerja, saya mulai merasa bahwa hasil karya saya tidak pernah sebagus apa yang dihasilkan teman-teman saya desainer lainnya sekantor. Rasa percaya diri saya mulai berkurang dan timbul pertanyaan apakah saya memang mempunyai talenta dan sudah tepat berada di posisi desainer ini? Kondisi sedemikian ini menghadirkan tekanan-tekanan yang membuat saya selalu merasa tegang berada di lingkungan kantor.
– dari seorang desainer grafis lulusan sekolah desain ternama di luar negeri, awal 2007.

A: Anda tidak harus dan tidak perlu membandingkan kemampuan anda dengan desainer lainnya. Tuhan merancang kita masing-masing sedemikian uniknya sehingga tidak ada yang benar-benar serupa di dunia ini. Dengan demikian tiap desainer diharapkan mampu menemukan keunikannya masing-masing dan kemudian menjalankan perannya yang berbeda-beda.

Ada desainer yang memiliki kelebihan dalam menggambar, sehingga desainnya selalu memiliki kandungan ilustrasi yang menjadi trademark tiap rancangannya. Ada yang memiliki sense yang kuat di bidang tipografi yang membuat hampir seluruh rancangannya merupakan hasil komposisi yang luar biasa dari huruf-huruf. Yang kuat di fotografi akan membuat desain yang menyertakan karya-karya fotografinya. Desainer yang merasa kelebihannya adalah dalam merancang logo akan bekerja di studio yang mengkhususkan diri di bidang branding. Studio yang lain memilih spesialisasi di bidang merancang buku, dan menjadi istimewa di bidang ini. Jadi selalu ada bidang-bidang khusus di mana tiap desainer bisa melayani masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya.

Rick Warren dalam bukunya ‘The Purpose Driven Life’ mengatakan: “Pengrajin kayu tahu bahwa lebih mudah untuk bekerja sesuai alur kayu ketimbang melawannya. Demikian juga, ketika anda dipaksa untuk melayani dengan cara yang ‘tidak sebagaimana mestinya’ untuk temperamen anda, hal tersebut menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan, membutuhkan usaha dan tenaga ekstra, dan menghasilkan kurang dari yang terbaik. Karena itu meniru pelayanan orang lain tidak pernah berhasil. Anda tidak memiliki kepribadian mereka.”

•••

Q: Melihat perjalanan karir pak Hanny mulai dari IPGI, bagaimana pak Hanny melihat perkembangan gerakan seni rupa baru?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, awal 2007

A: Peran gerakan seni rupa baru penting dalam mengubah pandangan mengenai seni rupa yang tadinya hanya dibatasi pada fine art saja (seni lukis, seni patung dan seni grafis). Gerakan ini menerima semua kemungkinan berekspresi (yang tidak dibatasi hanya pada elemen-elemen seni rupa lama), termasuk di antaranya elemen-elemen ruang, gerak dan waktu, yang pada gilirannya telah berjasa melahirkan karya-karya instalasi.

•••

Q: Berhubung saya banyak melihat pak Hanny di event-event Adgi (lihat di majalah Concept), ada satu hal yang ingin saya tanyakan mengenai neo-Adgi ini.

Jikalau boleh jujur (pendapat saya pribadi) entah kenapa neo-Adgi ini punya sifat eksklusif? Hal tersebut saya tangkap dari beberapa point yakni:
1. Pendaftaran keanggotaan dipungut biaya lumayan tinggi (menurut saya, untuk kelompok F/akademisi-mahasiswa) rasanya kurang sanggup untuk membayar sebesar itu.
2. Kenapa pendaftaran harus mendapat approval dari member yang sudah terdaftar? (minimal 3 orang)? Saya melihat apabila ada kasus seorang desainer grafis mempunyai reputasi buruk atau dia punya permasalahan dengan salah satu approvan maka dia akan dipersulit/ditolak untuk menjadi member Adgi?
– dari seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, awal 2007

A: Adgi baru terkesan eksklusif? Berapa ya iuran untuk anggota yang akademisi/mahasiswa? Sebetulnya mahal tidaknya iuran anggota ini relatif, yaitu kalau nilainya sebanding dengan apa yang diterima mungkin akan dirasa tidak mahal. Masalahnya, Adgi mungkin kurang mensosialisasikan manfaat keanggotaannya, sehingga iuran dianggap mahal.

Adanya klausul mengenai persetujuan dari 3 orang anggota lama itu memang akan ‘mempersulit’ masuknya anggota baru. Itu dilakukan barangkali dengan tujuan menyaring. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan standar keprofesian yang biasa berlaku pada organisasi-organisasi profesi? Artinya, dengan menjadi anggota Adgi otomatis seseorang diakui telah memenuhi standar kerja sebagai desainer profesional? Dan mungkin karena – saya kira – standarnya memang belum ada, maka untuk menghindari subyektivitas individual penilainya, dicantumkanlah keharusan melalui persetujuan 3 orang itu. Saya rasa standar keprofesian ini sudah diterapkan pada organisasi-organisasi profesi yang sudah lebih mapan seperti IDI atau IAI.

Saya akan coba melayangkan pertanyaan anda ini ke milis Adgi, supaya memperoleh tanggapan yang lebih proporsional.

•••

Berikut adalah jawaban dari Danton Sihombing (salah seorang anggota presidium Adgi 2006-2007):

–> PENDAFTARAN YANG DIPUNGUT BIAYA LUMAYAN TINGGI
• Bahwa biaya sebesar Rp. 900.000,- + Rp. 50.000,-(biaya admin) sudah diperhitungkan dengan matang dengan landasan sbb:
— Vision=Money, the bigger vision you set, the bigger money you need, artinya “KITA BERUPAYA UNTUK TERUS MEMBESARKAN KERANGKA/WACANA BERPIKIR KITA UNTUK TUJUAN YANG LEBIH BESAR”
Untuk merealisasikan visi dan misi Adgi, diperlukan ‘Capital Gain’ untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dalam membangun fondasi dari keseluruhan cakupan-cakupan produk Adgi, seperti produk2 regulasi, komersial dan peningkatan kualitas keprofesionalan/SDM.
— Bila kita melakukan ‘breakdown’ setiap program benefit yang sudah dan akan diluncurkan oleh Adgi, maka value for money dari akumulatif program benefit bagi member dalam setahun melebihi dari jumlah Rp. 950.000,-
— Jadi relativitas angka Rp. 950.000,- tergantung bagaimana kita melihatnya dan bagaimana KOMITMEN kita bersama untuk memajukan industri desain grafis Indonesia via Adgi. Apa kita bisa bergerak tanpa ‘start up capital’ yang memadai, pengalaman sudah bicara and the answer is absolutely NO.
— Bahwa organisasi yang baik harus mampu menjawab komponen 3K=Ketertarikan, Kepentingan, Keuntungan setiap anggotanya. Money talk,
right?

–> MENGAPA PENDAFTARAN HARUS MENDAPAT APPROVAL DARI MEMBER YANG SUDAH TERDAFTAR?
Singkatnya, ini adalah suatu cara untuk nurturing leadership bagi setiap anggota. Bagi yang membawa/meng-approved, dia punya kewajiban untuk mempromote dan bertanggung jawab atas anggota baru yang dibawanya. Jadi ‘scanning process’ tidak berbasis pada like or dislike—bagi yang bereputasi buruk ya kita harus sehatkan!

Demikian penjelasan singkat dari saya. Mudah2an dapat memberikan pemahaman yang lebih baik. Terima kasih sekali atas kepeduliannya dengan mengajukan pertanyaan tersebut di atas.

Salam,

Danton Sihombing, MFA

•••